July 16, 2009
Syiah; Dari Iran sampai Indonesia
Gerakan Syiah merupakan realitas dan sekaligus jadi tantangan tersendiri bagi perjalanan dan perkembangan dakwah Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Berawal dari Revolusi Khomaeni, gerakan ini senantiasa mendapat respon dari berbagai daerah di negeri-negeri Islam, termasuk di Indonesia. Bagaimana konsepsi dan pengaruh dari Revolusi (Syiah) tersebut dalam realitas politik dan gerakan dakwah di belahan dunia Islam ini?
Kemenangan Ayatullah Khomeini dalam Revolusi Islam (revolusi sebenarnya yang terjadi adalah Revolusi Syiah) di Iran awal tahun 1979 yang menumbangkan kekuasaan monarkhi Shah Pahlevi membuka dua eskalasi baru bagi negara-negara Barat, utamanya AS.
Dua eskalasi besar AS terhadap Iran adalah, Iran memiliki arti strategis bagi AS sebagai salah satu negara penyangga untuk membendung pengaruh Timur Tengah tentang ajaran Islam yang sesungguhnya, dan ini kemudian berjalan selama bertahun-tahun sampai sekarang. Mencuatnya Khomeini sebagai figur baru pada periode itu membuka kiblat peta yang baru pula. Seiring dengan pesona pemikiran dan filsafat yang dikembangkan Syiah, segera saja aliran ini mendapatkan begitu banyak ekspektasi dan simpati dari para kaum muda Muslim—dengan berpikir bahwa Iran adalah negara Arab yang disangkanya sebagai Negara Islam.
Eskalasi kedua adalah, untuk menjamin keamanan sekutu utamanya di wilayah kaya minyak tersebut, Israel. Sebagai blessing in disguise (bemper) atas peran Iran sebagai negara penebar Syiah, maka perang media akan keberadaan Israel dan Iran terus berlangsung, namun selama puluhan tahun lamanya, tak pernah ada satupun konflik nyata yang dilakukan oleh keduanya.
Perang Iraq-Iran dan Pengaruh Syiah di Timur Tengah
Di wilayah Timur Tengah sendiri, satu-satunya negara yang menyadari keberadaan Iran sebagai negara Syiah adalah Iraq. Saddam Hussein—memerintah hampir bersamaan dengan Khomeini pada tahun 1979, jauh-jauh hari sudah melihat pengaruh besar Iran ke Iraq dan negara-negara Arab lainnya.
Perseteruan Iraq terhadap Iran kontan memecah pula konstalasi politik di wilayah Timur Tengah. Jika ingin melihat kemana saja Syiah bergerak pada awal mulanya di Timur Tengah akan sangat mudah, karena Libya dan Suriah, dengan serta merta menjadi komrad Khomeini dan perang Iraq-Iran pun berlangsung selama delapan tahun. Satu-satunya kesalahan Saddam adalah ia malah memilih berkongsi dengan Uni Soviet (sekarang Russia)—itupun dilakukan dengan terpaksa karena negara-negara Arab dengan satu alasan dan lainnya malah memilih abstain dengan mendirikan GCC (Gulf Coooperation Council) yang beranggotakan Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, Qatar, Oman dan Uni Emirat Arab. Iraq sendiri bukannya tanpa dukungan, karena Mesir, Yaman dan Yordania berada di belakangnya.
Dari Suriah dan Libya, Syiah terus menerabas menuju Lebanon. Seperti diketahui, di Lebanon Syiah asalnya menjadi golongan yang tak diakui. Baru ketika Hizbullah naik ke permukaan, maka Syiah menjadi sangat kuat. Hizbullah adalah kelompok yang dibentuk oleh Sayyid Muhammad Hussein Fadhlalah. Gerakan yang sekarang dipimpin oleh Sayyid Hasan Nashrallah ini memperoleh dukungan dana dan perenjataan dari Teheran, sehingga pada saat ini Hizbulllah menjelma menjadi milisi bersenjata terkuat di Lebanon.
Kebangkitan Syiah di Irak
Jumlah kaum Syi’ah di Iraq sebenarnya sangat besar—mencapai sekitar 60 persen dari jumlah total 24 juta penduduknya. Sisanya adalah penganut Sunni yang menguasai politik Iraq. Sejak masa Saddam berkuasa, acara-acara yang berhubungan dengan kaum Syi’ah dilarang. Seperti diketahui, pada waktu Saddam berkuasa, kaum Syi'ah sama sekali tidak diberi ruang dikarenakan penyimpangan aqidah. Ketika Saddam jatuh, maka kaum Syi'ah seolah-olah membalas dendam kepada kaum Sunni. Mereka sengaja membuat isyu yang meminggirkan kaum Sunni lebih dekat kepada Al Qaidah sebagai pelindung setelah kejatuhan Saddam.
Setelah masa kependudukan Arab, bahkan Iran mempunyai pengaruh lebih buruk lagi terhadap Iraq. Keberadaan kaum syi'ah yang ada di Iraq menjadi salah satu penyebabnya. Kaum Syi’ah Iraq dipercayai lebih loyal terhadap Iran daripada Iraq sendiri. Pada akhirnya sentimen golongan tidak bisa dipisahkan pada permasalahan Iraq sebenarnya. Namun walau pun sekarang Saddam sudah tidak ada, tetap saja rakyat Iraq menolak Syiah dengan tegas.
Syiah di Timur Tengah
Secara umum, perkembangan Syiah di Timur Tengah telah merambah ke segala arah. Walau pun beberapa negara masih sangat ketat, seperti Arab Saudi dan Mesir, namun gerakan-gerakan ini sudah menimbulkan riak-riak dengan para pemuda sebagai pembawanya. Tiadanya figur sentral dalam dunia Islam jelas dimanfaatkan oleh Iran untuk naik ke permukaan—misalnya saja dengan tokoh-tokoh Iran yang seolah-olah secara terang-terangan mengecam dan membuka konfrontasi dengan AS dan Israel.
Berbagai gerakan Islam sepakat tidak mengakui Syiah sebagai salah satu perjuangan Islam. Misalnya saja, Ikhwan (Mesir) melalui pemimpinnya Mahdi Akif sudah dengan tegas menyatakan bahwa Ikhwan tidak pernah menjadi rekan mereka dalam menegakkan Islam. Perwakilan Hamas (Palestina) yang datang ke Indonesia menyatakan bahwa tidak satupun anggota dan kader Hamas yang berpaham Syiah.
Syiah di Indonesia
Bagaimana dengan di Indonesia? 1 September 1997, diselenggarakan sebuah seminar nasional di Jakarta, yang dihadiri pejabat pemerintah, ABRI, MUI, pimpinan ormas Islam, dan masyarakat umum. Melalui seminar itu, keluarlah sebuah keputusan penting menyangkut Syiah, antara lain; Syi’ah malakukan penyimpangan dan perusakan Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah. Seminar itu mengusulkan agar pemerintah RI lewat Kejaksaan Agung melarang Syiah, termasuk penyebaran buku-buku Syiah di Indonesia.
Namun dalam perkembangannya, justru kecenderungan untuk mempelajari Syi’ah makin meningkat. Buku-buku tentang Syiah pun dengan gampang bisa diperoleh di toko-toko buku. Bahkan lembaga atau komunitas Syiah juga berkembang pesat tanpa lagi takut dengan pelbagai gunjingan miring tentangnya. (sa/berbagaisumber)
Perkembangan Syiah di Indonesia akhirnya mulai merambah pada terbentuknya organisasi kemasyarakatan tersendiri dengan lahirnya IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia).
Organisasi ini dideklarasikan pada tanggal 1 Juli 2000 di Gedung Merdeka Bandung. Ormas ini dipelopori oleh tokoh intelektual Indonesia Dr. Jaluluddin Rakhmat, M.Sc yang kini duduk sebagai ketua Dewan Syuro’. Kang Jalal (akrab disebut demikian) yang pakar komunikasi ini juga dikenal sebagai cendikiawan muslim Indonesia. Kang Jalal mendirikan bersama beberapa orang diantaranya dua orang doktor dari ITB yaitu Dimitri Mahayana dan Hadi Suwastio Pendirian IJABI tersebut tentunya didasarkan pada perkembangan yang digambarkan di atas. IJABI terdaftar secara resmi di Departemen Dalam Negeri melalui Direktorat Jendral Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat nomor : 127 Tahun 2000/D.I tanggal 11 Agustus 2000. Pendirian dan pengembangan IJABI ini memang banyak dipelopori oleh para pencinta ahlulbait dari kalangan Syi’ah (imamiyah) tetapi misi IJABI adalah menghimpun seluruh pencinta ahlulbait dari kalangan manapun untuk melakukan kerja-kerja pemberdayaan mustadha’afin dan pencerahan pemikiran umat, yang tampaknya dengan ormas yang ada sekarang akan sulit efektif karena banyaknya kontaminasi politik yang bias konflik politik.. Tujuan IJABI secara eksplisit dijabarkan dalam AD/ART, salah satu keunikan tujuan itu adalah mengenalkan dan menyebarkan ajaran Islam yang diriwayatkan melalui jalur keluarga Nabi SAWW. Keunikan inilah yang menantang ormas ini untuk membuktikan bagaimana epistemologi dan implikasi aksiologis dari kecintaan kepada AhlulBait Nabi SAWW. Dengan asas kecintaaan kepada AhlulBait Nabi SAWW, IJABI merumuskan metode pergerakannya dengan pendekatan cinta (tasawwuf, irfan). Pendekatan ini adalah kajian tasawuf -filosofis, jadi pengembangan konsep cinta itu dibentuk oleh dasar-dasar teologis-rasional. Dalam kajian ahlulbait, pengembangan gerakan sosial manusia dibentuk oleh gerakan yang berkembang dalam diri manusia sendiri. Pengenalan terhadap diri adalah kunci mengenal Allah SWT. Pengenalan kepada Allah SWT tidak dapat hanya melalui wahyu semata (tekstualitas nash) tetapi juga dengan kebenaran akliah. Secara sederhana, pengembangan gerakan sosial harus didukung bukan saja oleh perangkat analisis sosial dan dukungan masyarakat tetapi juga harus didukung oleh manusia yang takzim kepada Allah SWT dan Rasulullah SAWW. Di sinilah peran Imamah (kepemimpinan) menjadi kajian selanjutnya yang harus dipahami oleh para pencinta ahlulbait dengan dasar-dasar teologis-rasional. Dalam konteks itu, maka sikap terhadap keberagaman adalah terbuka, karena kita percaya keterbukaan adalah syarat untuk menguji sebuah pemikiran. Pengujian ini sesungguhnya inheren dalam kritisisme ahlulbait sebagaimana dalam gambaran penantian (okultisme) kepada Al-Mahdi as.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Text Widget
Popular Posts
-
(PD Pemuda Persis Kab. Bandung)--- Setelah terpilih kepemimpinan baru pada Musyda VI, Pimpinan Daerah Pemuda Persatuan Islam melaksanakan Mu...
-
Bismillahirrahmanirrahim. Setelah melalui proses diskusi mengenai kalayakan dengan tetap memperhatikan asas keterwakilan semua pihak, akhir...
-
Oleh: Drs. Tatang Sutardi, M.HI. 1. Pendahuluan A. Hassan merupakan pemikir muda dengan gagasan segar yang tergolong kontroversial. Pemikir...
-
Lampiran SK Nomor: 001/PP/Skep/X/2010 TASYKIL PP PEMUDA PERSATUAN ISLAM MASA JIHAD 2010-2015 Ketua Umum : Tiar Anwar Bachtiar Ketua I : Yus...
-
Istilah Imam Mahdi muncul dan berhubungan erat dengan akidah mahdawiyyah, yakni keyakinan bahwa di akhir zaman akan datang seorang juru sela...
-
Gerakan Syiah merupakan realitas dan sekaligus jadi tantangan tersendiri bagi perjalanan dan perkembangan dakwah Islam Ahlus Sunnah wal Jama...
-
Penulis: Abah Zulva Penciptaan Alam Semesta Yang hilang dari dunia kita saat ini adalah pengetahuan tentang hakikat alam semesta. Itulah aka...
-
PP. Persatuan Islam (Persis) dalam Surat Keputusannya tertanggal 30 Mei 2009 mewajibkan infaq profesi bagi seluruh anggotanya, termasuk ang...
Assalamualaykum,
ReplyDeleteIni baru sebuah kajian dan pencerahan yang bermutu dan bermanfaat, sberbeda dengan para penulis2lain yang secara serampangan dan penuh emosi bahkan seperti yang ketakutan dengan masuknya syiah sehingga mengurangi bobot dan seolah2 malah membenarkan syiah itu sendiri, bagi saya syiah ini terbit karena masalah kekuasaan dan politis, contoh yang mudah seperti dipojokkannya keluarga bung Karno dan ajaran soekarnoisme oleh ORBA bahkan gelora Bungkarno pun diganti nama jadi gelora Senayan karena nama Soekarno membawa tuah yang berbahaya buat penguasa, begitu pula Ali dan Ahlulbayt berbahaya buat penguasa pada waktu itu sehingga diusahakan untuk dikecilkan bahkan kalau bisa dihapuskan.
Wallahu a'lam
faktanya sungguh ironis.. ketika banyak dari petinggi dan kader PERSIS mengecam bahkan mengkafirkan Syiah, justru sebagian besar tokoh-tokoh Syiah di Indonesia tadinya adalah tokoh dan kader atau paling tidak pernah mengenyam pendidiakn di lembaga pendidikan PERSIS... apa sebenarnya yang terjadi??
ReplyDeletedulu saya adalah orang PERSIS, sekarang setelah saya memilih Syiah sebagai mazhab saya.. Ustadz-ustadz saya di Syiah pun ternyata dulunya adalah orang-orang PERSIS (dan Muhammadiyah)...
Ironi memang, dulu dengan semangatnya saya mendebat orang-orang NU sebagai ahlul bid'ah, dan orang-orang syiah sebagai orang kafir... sekarang saya sendiri malah jadi bagian dari orang-orang yang dulu saya anggap kafir...
Hanya Allah lah yang memberi petunjuk..wallahu'alam.
ahsan...
ReplyDeletesalam kenal...
Ressay